Tuesday, June 16, 2015

Belenggu Pernikahan Dini

Setiap tahun, belasan juta anak perempuan di seluruh dunia menikah di usia yang masih sangat dini, dan Indonesia menjadi salah satu negara yang menyumbang tinggi untuk angka ini. Anak-anak perempuan menikah saat mereka seharusnya masih mendapatkan hak pendidikan atau bercengkrama dengan teman sebaya, bahkan mulai jatuh cinta.  Berikut cerita dari Pulau Nias, Sumatra Utara di mana praktik pernikahan dini masih sering terjadi.







Feberia Herefa, saat itu masih berusia di awal 17 tahun atau bahkan kurang, sedang bekerja di ladang seperti hari-hari biasanya bersama kedua kakak perempuannya ketika tiba-tiba mereka dipanggil segera pulang ke rumah. Dengan hati bertanya-tanya, ketiga kakak beradik itu pun melangkah pulang ke rumah mereka yang terletak di Desa Namohalu, sebuah desa kecil di kepulauan Nias, Sumatra Utara. Ketika sampai di rumah, mereka melihat ada beberapa tamu yang duduk bersama orang tua mereka. Di antara para tamu, tampak seorang pemuda yang sedikit tampak lebih tua dari usia Feberia yang belum pernah dikenalnya.
Tak lama setelah tamu meninggalkan rumah mereka, Feberia dan kakak-kakaknya dipanggil bicara oleh orangtua mereka. Ia tidak menyangka bahwa sejak sore itu hidupnya akan berubah. Dengan agak gugup dan suara tersendat, ibunya memberitahu Feberia bahwa pemuda yang tadi duduk dan bersalaman dengan dia adalah calon suaminya dan mereka akan segera menikah. “Saya sangat kaget mendengar perkataan ibu saya, rasanya tidak percaya,” tutur Feberia saat kami bertemu di rumah mertuanya di Desa Lombuza’ua, Nias Utara.
Berhari-hari Feberia tetap menangis, berdoa dan memohon pada oranguanya agar membatalkan rencana tersebut. Ia meminta salah satu kakaknya saja yang menikah karena mereka mungkin lebih siap dan lebih tua darinya. Tapi keluarga laki-laki telah memilihnya, dan ia harus menikah karena keluarga mereka membutuhkan uang dari mas kawin yang akan dibayarkan keluarga laki-laki.
Sebuah pesta pernikahan yang sederhana pun digelar satu bulan kemudian dan Feberia diboyong ke rumah keluarga suaminya yang terletak sekitar 2 jam perjalanan dengan sepeda motor dari rumah orangtuanya. Ia terpisah dari ibu, bapak dan kakak-kakaknya.



Persoalan Global
Feberia adalah satu dari sekitar 700 juta perempuan di dunia yang menurut data dari UNICEF menikah pada saat usia mereka masih cukup dini dan sepertiga dari jumlah itu, menikah sebelum mereka berusia 15 tahun. Indonesia termasuk negara dengan tingkat pernikahan dini yang cukup tinggi, menduduki peringkat ke-37 di dunia, dan nomor 2 di Asia Tenggara setelah Kamboja. Meski dari tahun ke tahun kecenderungan tersebut terus menurun, namun tren ini tetap menjadi perhatian yang memprihatinkan dan merupakan realitas, baik bagi anak perempuan maupun anak laki-laki walaupun secara global yang paling merasakan dampaknya adalah anak perempuan, seperti Feberia.
Secara global faktor penyebab pernikahan di usia dini juga cenderung sama. Faktor budaya, ekonomi, dan motivasi pendidikan yang rendah adalah di antara yang utama. Namun gejala modernisasi dan perubahan perilaku masyarakat juga menjadi faktor besar: banyak anak di bawah umur terpaksa menikah karena terlanjur hamil.
Kepulauan Nias yang terletak di provinsi Sumatra utara, adalah salah satu daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi. Mata pencaharian utama masyarakat adalah dengan ladang karet dan berkebun. Daerah yang sangat sulit dan sarana prasarana yang tidak memadai membuat akses pendidikan dan kesehatan juga menjadi sangat sulit. Tidak jarang anak-anak harus berjalan kaki berjam-jam untuk mencapai sekolah mereka. Tantangan ini, dan sedikitnya kesempatan ekonomi yang tersedia setelah mereka selesai sekolah membuat motivasi belajar sangat rendah. Feberia hanya bersekolah hingga kelas 2 SD sehingga untuk berbahasa Indonesia pun ia mengalami kesulitan dan harus mengandalkan penerjemah ketika berbicara dengan saya.
Ketika anak perempuan tidak lagi bersekolah, mereka lebih banyak tinggal di rumah, atau sekadar membantu orangtua bekerja di ladang. Karena mereka tidak mendapat kesempatan untuk menjadi sumber ekonomi, bagi banyak orangtua, menikahkan mereka adalah salah satu jalan ke luar yang cepat dan efektif untuk mengurangi beban ekonomi keluarga.
Berbeda dengan anak laki-laki, jika mereka tidak bersekolah, mereka bisa bekerja di kebun dan membantu perekonomian keluarga. Selain itu, anak laki-laki juga banyak yang kemudian keluar dari desa dan mencari pekerjaan lain, sementara para orangtua cenderung tidak mau melepaskan anak perempuan mereka untuk keluar dari desa.
Saat saya temui, Feberia baru pulang dari ladang tempat ia sehari-hari menyadap karet bersama ibu mertuanya. Karena suaminya bekerja sebagai buruh di kota Pekanbaru dan tidak selalu bisa mengirimkan uang, ia dan ibu mertuanya dituntut untuk bekerja menghidupi mereka sekeluarga bersama anaknya dan adik iparnya. Ia juga membuka warung kelontong kecil-kecilan. Ia tampak lemas, setelah sakit selama beberapa hari. “Sejak melahirkan, saya sering sakit dan gampang pusing serta tidak sekuat dulu lagi,” ujar Feberia sambil menggendong anaknya yang bernama Fajar dan berusia hampir 1 tahun. Sesuai dengan tradisi Nias yang memanggil perempuan dengan nama anak pertamanya, Feberia sekarang lebih dikenal dengan panggilan Ina (Ibu) Fajar.
Sebelum melahirkan Fajar, Feberia sempat keguguran satu kali, dan ia mengaku sampai sekarang masih sering merasakan nyeri di perutnya sejak keguguran dan melahirkan. Ini adalah risiko yang biasa dihadapi perempuan yang menikah di usia dini. Selain keguguran, banyak perempuan yang meninggal pada saat proses melahirkan atau ketika masih mengandung. Kemungkinan para perempuan ini meninggal karena komplikasi kehamilan yang sangat tinggi dan fisik yang belum siap untuk itu. Dan bayi mereka banyak yang meninggal di usia awal kehidupan atau meninggal di dalam rahim seperti bayi pertama Feberia.

Tradisi dan Budaya
Dalam budaya Nias, tradisi uang mas kawin atau yang disebut dengan istilah uang jujuran masih kuat. Uang jujuran ini diberikan keluarga perempuan kepada keluarga laki-laki. Seperti tradisi di India, yang memiliki angka pernikahan dini yang tinggi karena sistem mas kawin yang kuat, ini juga yang menjadi pendorong seringnya anak perempuan dinikahkan di usia muda di Nias. Dalam kasus Feberia, ia dinikahkan sebagai tindakan untuk menyelamatkan keluarganya dari beban ekonomi akibat persoalan yang sangat pelik. Ceritanya sangat panjang, saat itu saya dipaksa menikah untuk melunasi utang perdamaian atas kasus pembunuhan yang dilakukan oleh abang kandung saya. Orangtua saya tidak punya uang untuk melunasi hal tersebut, sehingga saya dijodohkan dan dinikahkan dan uang jujuran saya dipergunakan untuk membayar uang perdamaian kepada keluarga korban pembunuhan yang dilakukan abang saya,” tuturnya dengan tenang sambil tersenyum sabar.
Uang jujuran menjadi persoalan yang sangat kompleks di tradisi Nias karena melibatkan keluarga besar. Ketika akan menikah, keluarga laki-laki harus membayar uang jujuran pada keluarga perempuan. Namun kondisi ekonomi yang buruk, mereka terpaksa meminjam dari kerabat mereka untuk membayarnya. Setelah menikah, menjadi tanggung jawab anak-anaklah untuk membayar hutang uang jujuran tersebut. Seringkali hutang tersebut tidak bisa terbayarkan hingga bertahun-tahun kemudian. Atau mereka akan berhutang lagi untuk membayar hutang sebelumnya. Sebuah lingkaran setan yang tak pernah habis.
Menurut kepala desa Lombuza’ua angka pernikahan dini di desanya sendiri tidaklah terlalu tinggi namun angka putus sekolah yang tinggi menjadi faktor pendorong. “Selain karena faktor ekonomi, orangtua merasa tidak mampu lagi menyekolahkan anak-anak mereka, dan menikahkan anak mereka membuat mereka lepas tanggung jawab, juga dipengaruhi oleh lingkungan karena ada teman-temanya yang meninggalkan sekolah dan memilih untuk segera menikah,” jelasnya.
Pola pikir berdasar tradisi yang sangat kuat banyak menjadi penghalang bagi anak perempuan di Nias untuk maju. Bahkan untuk anak-anak yang berprestasi sekalipun dan tinggal di ibukota kabupaten, ancaman mereka untuk tidak bisa melanjutkan studi pun masih tinggi. Restanti Warowu, salah satu remaja Nias berprestasi dan tergabung dalam Forum Remaja Nias yang saya temui mengungkapkan hal tersebut. Restanti yang saat ini duduk di kelas 3 SMA, cemas tidak bisa mendapatkan ijin orangtua untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi dengan kualitas yang lebih baik karena orangtuanya takut melepas anak perempuan mereka ke luar pulau. Ia juga cemas orangtuanya tidak bisa membiayai uang kuliahnya karena persoalan yang sama.
Sementara bagi sebagian anak perempuan seperti Feberia yang hidup di desa yang lebih kecil, tidak hanya mereka kehilangan kesempatan mereka untuk mengakses pendidikan yang lebih tinggi, namun juga menikmati masa remaja mereka. “Saya sangat sedih tidak bisa menikmati masa-masa remaja saya dengan baik, kalau dulu saya bisa bermanja-manja dengan orangtua saya, saat ini tidak ada lagi, setiap hari harus kerja demi mencari nafkah. Saya juga lelah karena dipaksa untuk berpikir tentang utang-utang pernikahan, nafkah keluarga dan mengurus anak,” tuturnya. Tapi ia mengaku tidak marah kepada keluarganya yang memaksanya menikah, atau pada abangnya yang membuat ia terpaksa menikah. “Saya sudah cukup beruntung yang datang pada saya bukan kakek-kakek tapi laki-laki yang masih muda. Teman-teman saya ada yang terpaksa menikah laki-laki yang jauh lebih tua dengan mereka.” Tentu saja, meski baru kenal setelah mereka menikah, tumbuh juga perasaan sayang dalam diri Feberia terhadap suamianya. “Saya berharap sekali bisa ikut suami, tapi tidak mungkin karena biaya hidup di kota sangat tinggi,” ujarnya.

Bagi, Ina Fajar hidupnya saat ini adalah tentang berladang, mengasuh anak dan menunggu telepon dari suaminya seminggu sekali yang ia terima melalui handphone milik tetangganya. Uang yang dibayar keluarga suaminya sebesar Rp. 20 juta, saat meminang dirinya, sama sekali tidak dirasakannya. Mereka justru harus bekerja keras untuk membayar hutang keluarga suami yang harus mereka pinjam untuk meminang Feberia.  “Kadang-kadang saya berpikir mengenai kakak-kakak saya yang sekarang bekerja di kota,” ungkapnya sambil tersenyum lemah. “Jika saya tidak menikah, pasti saya yang akan bekerja di sana,” ujarnya.









Photograph by: Wahyudi Tan
Terbit di Marie Claire Indonesia edisi Mei 2015.
(Kontributor Wawancara: Dominiria Hulu)




Thursday, November 1, 2012

THE PERSONAL IS POLITICAL

Yenny Wahid adalah salah satu tokoh perempuan yang saya ingin wawancara sejak lama. Akhirnya kesempatan itu datang juga beberapa bulan lalu. Dan kabar baiknya lagi, wawancara saya lakukan di rumahnya yang  bersahaja. Saya dan kru dari Marie Claire berkesempatan memotret ia dan putrinya Malika serta memotret berbagai sudut rumah dan barang-barang kesayangannya. Berikut ini adalah hasil wawancara tersebut yang terbit di Majalah Marie Claire Indonesia edisi Mei 2012 dengan fotografer Pandji Indra, Stylist Asri Puspitasari dan Makeup Artist Andre.

 THE PERSONAL IS POLITICAL

 




Memiliki posisi puncak dalam partai politik yang didominasi ulama, menantang bahaya sebagai reporter di daerah konflik, serta menjadi staf khusus presiden pernah dijalaninya. Sekarang ia telah menjadi ibu, dan memimpin sebuah partai baru, namun caranya berpolitik tak lagi sama. Ia melihat politik dari sisi seorang perempuan yang mencintai anaknya: sesuatu yang lebih personal.

Bendera merah putih yang berkibar di atas pagar kayu tinggi sebuah rumah di Jalan Gaharu No 35F, Cipete, Jakarta Selatan entah bagaimana meyakinkan saya bahwa itu memang rumah seorang putri mantan presiden Republik Indonesia. Rumah itu tidak terletak di pemukiman mewah dan dari luar juga tampak sederhana. Dari pintu gerbang, gang singkat yang teduh dengan tumbuhan rumput menjalar di sisi kiri kanan membawa saya ke sebuah rumah bercat putih yang cukup besar dengan pintu yang terbuka lebar. Memasuki rumah tersebut, saya langsung disambut beberapa patung Gus Dur, mantan presiden Indonesia ke-4. Setelah menunggu beberapa saat, Yenny Wahid, putri kedua KH. Abdurrahman Wahid itu keluar dari kamarnya. “Maaf ya, menunggu agak lama, saya tadi sholat dulu,” sapa Yenny sambil membetulkan letak kerudungnya. Putrinya, Malika Aurora Madhura terlihat asik bermain di dekat Yenny.
Setelah Partai Kemakmuran Bangsa Nusantara (PKBN) yang dipimpinnya dinyatakan tidak lolos verifikasi Pemilu 2014, Yenny sibuk dengan urusan untuk memperjuangkan partainya tersebut agar bisa berpartisipasi dalam pemilihan umum dua tahun mendatang. Namun tidak peduli betapa ketegangan dunia politik menyita sebagian besar waktunya, perempuan dengan nama lengkap Zannuba Ariffa Chafson Rahman Wahid ini mengaku tetap menempatkan keluarga sebagai prioritas nomor satu dalam hidupnya. Walaupun tak lagi hobi hang out atau berbelanja bersama teman-temannya, Yenny sangat menikmati waktunya bersama Malika dan menjadi orang rumahan seperti suaminya Dhohir Farisi yang ia nikahi pada 2009 lalu.
Anda saat ini sedang dalam masa awal kehamilan, mengurus anak yang berusia 1,5 tahun serta berjuang untuk meloloskan partai Anda untuk ikut Pemilu 2014. Bagaimana Anda menjalankan itu semua?
Sebetulnya saya banyak kegiatan di luar, tapi yang bisa saya lakukan di rumah ya saya pilih begitu supaya bisa menghabiskan waktu bersama Malika dulu dan karena masih di masa awal kehamilan, saya masih sering mual apalagi kalau naik mobil. Mengenai perjuangan meloloskan PKBN untuk bisa berpartisipasi dalam Pemilu 2014, saat ini kami sedang melakukan berbagai upaya. Salah satunya adalah dengan melakukan proses pembicaraan dengan partai-partai lain, karena ada banyak partai lain yang tertarik untuk bergabung dengan kami
Malika baru berusia 1,5 tahun tapi Anda sudah hamil anak kedua, apakah memang program Anda  dan suami untuk punya anak secepatnya?
Sebenarnya bukan diprogramkan juga. Tapi saya berpikir untuk tidak menunda kehamilan karena mengingat umur saya juga. Jadi, ya cepat-cepat saja.
Apakah ada perbedaan Anda dalam memandang politik atau berpolitik itu sendiri sebelum dan sesudah menjadi Ibu?
Bagi saya, politik itu adalah alat untuk membuat perubahan yang positif. Singkatnya, saya menggunakan politik untuk membuat perubahan yang lebih baik untuk masyarakat. Nah, sekarang setelah saya menjadi ibu, politik bagi saya dimensinya menjadi lebih dalam lagi. Kalau dulu lebih untuk sekedar aktualisasi diri dan cara untuk mengekspresikan pemikiran, sekarang saya menjadikan politik sebagai alat untuk mencapai tujuan. Dan tujuan saya adalah membuat perubahan yang berarti bagi generasi mendatang terutama bagi anak-anak kita sendiri. Saya ingin kehidupan anak saya lebih baik dari kehidupan saya. Saya ingin ia hidup dalam negara dengan udara yang lebih baik, kualitas air lebih baik, dan sistem transportasi yang lebih bagus. Walaupun semua itu berangkat dari rasa cinta terhadap anak saya, namun hal-hal seperti itu kan memang menjadi bidang pembahasan di level politik semua. Jadi semua itu akhirnya menjadi sesuatu yang personal sekarang. Itu perubahan besarnya.
Lalu dalam kehidupan Anda sendiri, bagaimana perubahan dari masa lalu ketika Anda masih lajang dan sekarang setelah menjadi istri dan ibu?
Banyak sekali. Sekarang sepertinya jalan hidup saya lebih santai dan prioritas utama adalah keluarga. Waktu saya lebih banyak saya gunakan untuk anak dan suami. Suami saya tipenya orang rumahan dan ia mengajarkan saya menjadi orang yang sangat rileks. Sebelum menikah, kegiatan saya sangat intens, sering menantang bahaya saat liputan karena banyak meliput di daerah konflik. Kalau sekarang sepertinya banyak di rumah. Dulu, setiap ada waktu luang pasti jalan keluar dengan teman-teman saya.  Sekarang kalau jalan, ya sama keluarga, walaupun sebenarnya kami jarang keluar rumah.
Sebelum mendirikan PKBN, dulu Anda menjadi Sekjen di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang anggota atau pengurusnya didominasi oleh laki-laki dan ulama. Bagaimana Anda bisa diterima menjadi pemimpin di partai dengan karakter seperti itu?
Pada awalnya, tantangannya sangat berat dan perlu pembuktian. Artinya saya tidak boleh cengeng. Saya harus aktif dan bekerja keras. Saya rajin turun ke lapangan untuk bertemu dengan konstituen. Waktu saya benar-benar tersita dan setiap akhir pekan saya pasti harus melakukan perjalanan kemana-mana untuk berbagai urusan. Kalau saya harus mengunjungi daerah yang terkena banjir, ya harus siap dengan keadaan tersebut, termasuk melakukan perjalanan darat selama 7-8 jam hingga dua malam. Selama bulan puasa saya harus keliling kemana-mana. Jadi mereka juga melihat ternyata saya memang serius, punya komitmen dan mau kerja. Jadi pembuktiannya memang dengan aktif bekerja.
Apakah saat Anda mendampingi Gus Dur dalam tugas kepresidenan maupun dalam kegiatan politik ia sudah menyiapkan Anda untuk terjun ke dunia politik dan katakanlah sebagai penerus dia?
Saya tidak tahu karena beliau tidak pernah mengatakan hal tersebut secara langsung. Tapi yang jelas Gus Dur adalah orang yang sangat demokratis dan tidak menyukai segala sesuatu yang berbentuk KKN. Waktu saya ikut pemilihan menjadi Sekjen PBB beliau tidak ikut memilih dan menyalonkan saya dan malah mendukung calon lain karena tidak mau dianggap KKN. Pada akhirnya memang saya yang terpilih, dan beliau bisa dengan bangga mengatakan bahwa anaknya terpilih bukan karena pengaruhnya. Dan untuk itu, saya sangat berterima kasih pada Bapak yang telah memberikan pembekalan hidup pada kami sehingga tidak tergantung pada orangtua untuk bisa sukses dalam hidup. Namun mungkin Bapak melakukannya dengan cara lain. Seringkali saat saya mendampinginya, beliau hanya berpidato lima menit kemudian berkata bahwa saya yang akan melanjutkan pidato tersebut, begitu terus berkali-kali. Selain itu, Bapak juga seringkali menyuruh saya menyelesaikan persoalan berat yang dihadapi partai. Waktu itu saya sih tidak kepikiran apa-apa, saya pikir memang karena beliau capek atau karena alasan lain. Tapi setelah beliau pergi, saya mulai berpikir, jangan-jangan itu caranya Bapak untuk nyiapin saya.
Anda dulu belajar desain komunikasi visual di universitas, bekerja sebagai reporter, kemudian belajar ilmu pemerintahan di Amerika Serikat dan akhirnya terjun ke dunia politik. Sebenarnya apa passion Anda?
Sebetulnya saya senang menggambar karena itu saya ingin kuliah di Jurusan Seni Rupa ITB namun tidak lulus. Akhirnya atas anjuran Bapak, saya kuliah di Jurusan Desain Komunikasi Visual di Universitas Trisakti. Saat hampir lulus kuliah sembari menunggu waktu wisuda, saya iseng melamar di surat kabar Sidney Morning Herald dan ternyata diterima. Ya sudah, lupa desain grafisnya. Tak lama setelah itu, Bapak terpilih jadi presiden, akhirnya pekerjaan saya sebagai jurnalis saya tinggalkan untuk mendampingi beliau.
Sekarang masih senang menggambar untuk menyalurkan kreativitas Anda?
Masih. Dulu saya suka menggambar sketsa orang, apalagi waktu mendampingi Bapak saat pertemuan-pertemuan kepala negara. Untuk mengusir kebosanan di sela-sela pertemuan dan pidato yang panjang, saya menggambar sketsa wajah pejabat-pejabat yang ditemui Bapak, seperti Jacques Chirac atau Hugo Chavez. Kalau sekarang saya banyak menggambar anak saya.

Yenny dan putrinya Malika
 Pernahkah ada keraguan dalam diri Anda sebelum terjun total ke dunia politik?
Ada. Butuh waktu tiga tahun bagi saya sebenarnya untuk memantapkan hati terjun ke dunia politik secara total. Sebenarnya waktu mendampingi Gus Dur pun belum pernah terpikir untuk masuk dunia politik, saat itu saya mendampingi beliau dalam posisi saya sebagai anak saja.
Bagaimana Yenny Wahid kecil?
Kata Ibu saya, saya anaknya cengeng terus kemudian cenderung tidak terlalu….Hmm sebenarnya saya biasa banget, tidak terlalu menonjol, berantakan. Tapi masa kecil itu buat saya adalah masa yang membahagiakan. Dulu waktu kami masih tinggal di Ciganjur, jalan di dekat rumah belum diaspal, jadi masih jalan tanah liat sehingga kalau hujan sepatu kami harus dibungkus dengan plastik supaya tidak kena becek. Siang hari biasanya saya main kasti bersama teman-teman. Karena belum mampu beli bola, kami membuat bola yang terbuat dari koran yang digumpal-gumpal dan diikat dengan karet. Kemudian listrik juga belum ada di jalan. Tapi bagi saya itu adalah masa yang sangat membahagiakan. Dengan teman-teman saya pergi mencari kecapi, menunggu duren jatuh. Jadi anak kampung banget lah.
Apakah Anda dan suami adalah tim yang kompak? Dalam mendidik anak, pandangan politik dan hal-hal lainnya?
Kami saling mendukung sekali. Dia orangnya tidak ngoyo, santai, sehingga saya juga terpengaruh oleh dia untuk menjalani hidup lebih rileks. Kami sering sekali mendiskusikan banyak hal dan kalaupun ada perbedaan kami bicara saja.
Suami Anda tidak terintimidasi dengan kiprah dan posisi Anda di partai politik?
Nah, dalam hal ini saya merasa beruntung karena suami saya berasal dari keluarga yang memiliki figur perempuan aktif dan a strong woman yaitu Ibunya. Jadi sama saja, buat dia tidak ada masalah jika istrinya lebih aktif.
Apakah ia sesuai dengan gambaran laki-laki yang Anda idamkan sebelum Anda menikah?
Sembilan puluh sembilan persen deh….(tertawa)
Suami seperti apakah dia?
Seorang family man.
Apakah ada visi Anda di masa depan untuk menjadi RI 1?
Saya tidak memikirkan hal itu, mengenai kedudukan. Saya berpikir dengan posisi saya sekarang, saya harus memberikan kontribusi yang positif pada masyarakat.

Foto pernikahannya.


Ia juga penggemar fashion




 



Sunday, April 15, 2012

Dunia Lola


Tak seperti karya-karya filmnya yang semakin dikenal, banyak yang tidak begitu mengetahui kehidupan Lola Amaria. Melalui sesi foto dan wawancara selama tiga jam, ia memberi celah pada Marie Claire untuk masuk lebih dalam ke dunianya yang sederhana namun penuh makna.

Photograph by Hakim Satriyo


Kesan pertama bertemu Lola Amaria adalah kedisiplinannya. Ia datang tepat waktu sesuai janji yang kami sepakati untuk bertemu pukul 11 pada suatu siang yang mendung di bulan Januari. Ia bahkan datang lebih awal ke lokasi pemotretan. Lola menyambut kami dengan sapaan akrab walaupun sudah menuggu setengah jam. Mengenakan kemeja warna fuschia dipadu denim hitam dan sepatu keds, Lola tampak santai.

Ia langsung memperlihatkan berbagai barang yang memiliki arti penting baginya maupun barang-barang favorit seperti sepatu Adidas yang hampir berubah warna menjadi kecoklatan dari warna asli putih karena terlalu sering dipakai. “Sepatu ini telah mengikuti saya ke mana-mana, sampai ke Cina dan New York dan saya pakai dalam berbagai kesempatan mulai dari hang out dengan teman-teman, riset ke berbagai daerah dan selama proses syuting.” Walau diprotes sahabat dekat sekaligus manajernya Dimas agar tak memakai sepatu itu lagi, ia bersikeras untuk tetap mengenakannya. “Sepatu ini kan limited edition, jadi sudah tidak ada lagi di pasaran, padahal saya suka sekali. Kalau nanti keluar lagi, saya akan beli dengan model dan warna yang sama,”ceritanya.

Bersama-sama kami membongkar tasnya, mencoba menggali siapa sebenarnya Lola Amaria. Ia memperlihatkan batik kesayangannya yang didapatnya dari pebatik terkenal Go Tik Swan. Lola mendapat kesempatan membeli koleksi batik tersebut saat mengadakan riset untuk film dokumenter mengenai pebatik favorit mantan Presiden Soekarno itu. CD yang berisi lagu-lagu Serge Gainsbourg dan Jane Birkin dengan hits mereka “Je T’aime…Moi Non Plus” menjadi favorit Lola. Beberapa buku karya Paulo Coelho, Ayu Utami, Pramoedya Ananta Toer juga diperlihatkannya, serta beberapa film favoritnya. Tak lupa sebuah tas Yves Saint Laurent warna putih juga ia bawa, sebuah hadiah dari seorang sutradara asal Taiwan.

Benda-benda tersebut, hanya sebagian dari dunia sekitar Lola. Meski kami berharap dapat bertemu di rumahnya, memasuki dunia Lola yang sesungguhnya, ia memilih untuk bertemu di luar. Mungkin ia ingin tetap menjaga rumahnya sebagai ruang privat, dunia yang hanya bisa dinikmati oleh ia dan orang-orang dekatnya.

 Apa saja kegiatan Anda saat ini?

Saat ini saya sedang mengerjakan omnibus Sanubari Jakarta, proyek sepuluh film pendek tentang LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) di Indonesia. Saya bertindak sebagai produser dan ikut menyutradarai satu film tentang biseksual.

Seperti dalam film Minggu Pagi di Victoria Park (MPdVP) yang juga menyorot kehidupan lesbian, mengapa Anda tertarik untuk mengangkat isu LGBT ini?

Secara pribadi, saya tertarik dengan isu ini karena saya banyak memiliki teman yang  merupakan LGBT juga. Selain itu, LGBT adalah realita sosial. Saya dan para pembuat film dalam omnibus ini ingin menekankan pada penonton bahwa kehidupan LGBT ini tidak hanya ada di negara-negara besar, tetapi juga di berbagai belahan dunia lainnya. Sebenarnya film ini bersifat edukasi supaya masyarakat lebih tahu mengenai keberadaan LGBT. Sedangkan isu lesbian diangkat di film MPdVP karena memang begitu pula realita yang ada di sana.

Film-film Anda juga menunjukkan kepedulian terhadap masalah perempuan, bagaimana awal ketertarikan Anda  dengan persoalan perempuan?

Sebenarnya itu terjadi begitu saja tanpa saya sadari. Saya baru sadar setelah banyak orang bertanya mengapa saya tertarik dengan permasalahan perempuan. Mungkin alasan tepatnya adalah karena saya perempuan mungkin ya? Jadi saya lebih dekat dengan masalah yang perempuan alami.

Bagaimana Anda melihat hubungan antara perempuan dan laki-laki?
Bagi saya laki-laki dan perempuan itu tidak ada bedanya. Apapun yang menjadi hak laki-laki juga menjadi hak perempuan. Apapun yang menjadi kewajiban laki-laki menjadi kewajiban perempuan juga. Artinya, segala sesuatu harus seimbang, tidak boleh lebih tinggi atau lebih rendah. Karena jika keduanya memposisikan diri seimbang, tahu batasan dan porsi masing-masing, maka kasus-kasus pelecehan atau kekerasan terhadap perempuan tidak akan terjadi.

Apakah keluarga mempengaruhi cara Anda menjalani hidup saat ini?
Ya, Papa saya galak dan keras terhadap anak-anaknya. Jadi didikan keras itu terbawa sampai sekarang. Saya dan semua saudara dididik untuk mandiri dan dibiasakan untuk tidak tergantung pada orang lain. Kalau tidak terpaksa sekali, jangan minta tolong. Kami juga tumbuh dengan disiplin yang kuat. Bangun tidur, semua harus membereskan tempat tidur sendiri; baju kotor ditaruh di keranjang, jangan sampai berceceran; selesai makan, cuci piring sendiri. Dulu saya sering kesal menjalani disiplin seperti itu. Tapi saya merasakan manfaatnya sekarang ketika saya sudah dewasa, saya menjadi pribadi yang mandiri dan tidak mudah tergantung pada orang lain.

Anda tumbuh dalam keluarga besar (9 bersaudara), apakah Anda dekat dengan saudara-saudara Anda?
Walau tumbuh dalam keluarga besar, kami bersaudara sangat dekat satu sama lain. Setiap bulan saya pasti menyediakan waktu bertemu keluarga. Entah makan siang bersama, atau memang ada acara khusus, atau memang sekedar berkumpul bersama. Jadi, sebenarnya saya adalah family person.

Siapa inspirasi Anda dalam berkarya?
Ada banyak. Untuk sutradara saya suka sekali dengan Zhang Yimou, Teguh Karya, dan Syuman Jaya. Kalau untuk buku saya suka Chairil Anwar, Iwan Simatupang, Pramoedya Ananta Toer, Seno Gumira Ajidarma dan Ayu Utami. Mereka itu orang-orang yang patut dihormati karena pemikiran mereka bisa mempengaruhi pemikiran kita juga. Saya senang menonton film dan musik tertentu, tapi bukan berarti saya harus berkarya seperti orang-orang tersebut. Saya tetap harus menjadi diri sendiri. Film-film yang saya tonton itu menjadi referensi saja dalam berkarya.

Film yang sangat berkesan bagi Anda?
The Three Colours Trilogy dari sutradara Polandia Krzysztof KieÅ›lowski, The Piano yang dibintangi oleh Holly Hunter dan film-film dari Zhang Yimou. Saya suka semua film-film Yimou karena ia sepertinya sangat mendalami dunia perempuan.  Dulu saya berpikir bahwa dia adalah seorang perempuan padahal ternyata dia adalah laki-laki. 

Anda seperti memiliki ketertarikan khusus dengan kultur Cina, apakah memang begitu?
Iya. Saya sangat tertarik dengan hal-hal yang berhubungan dengan budaya Cina dan menurut saya banyak sekali hal menarik dalam kebudayaan tersebut. Jika ada pepatah yang mengatakan tuntutlah ilmu hingga ke negeri Cina, saya rasa itu banyak benarnya. Ketika kita datang ke negeri tersebut kita akan belajar betapa kayanya budaya negeri itu.

Banyak orang menggambarkan Anda sebagai seseorang yang dingin, tidak ramah, bahkan pemalu, apakah benar?
(Tertawa) Saya tidak tahu bahwa pandangan orang-orang bisa seberagam itu terhadap saya. Tapi pandangan itu kan datang dari berbagai orang, mulai dari yang sudah sangat kenal saya, baru kenal, bahkan tidak kenal sama sekali. Jadi sah-sah saja jika orang berpandangan seperti itu.

Bagaimana Anda menggambarkan diri sendiri?
Wah jangan tanya saya, coba tanya manajer dan sahabat saya yang mengenal saya dengan baik. 

Tapi bisa saja pendapat dia berbeda dengan apa yang Anda pikirkan tentang diri Anda sendiri…
Hmm…sebenarnya saya ini orang yang lucu (tertawa terbahak). Saya juga seorang yang disiplin; cerewet dalam hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan, tapi tidak dalam kehidupan sehari-hari. Saya juga suka masak, tapi belum jago seperti chef yang ada di televisi itu. Saya senang masak untuk orang lain, jadi kadang saya mengundang teman-teman untuk makan bersama. Kalau masak sendiri tidak seru ya. 

Apa yang sangat berbeda dengan Anda yang sekarang dan saat berusia 20-an?
Satu hal yang paling berubah adalah bagaimana saya memandang kecantikan. Dulu mungkin cantik itu misalnya berarti putih dan tinggi. Setelah saya menjadi finalis Wajah Femina 1997, saya banyak belajar memandang cantik itu dari sisi lain. Kecantikan bisa datang dari kepribadian kita, dari cara berpikir.
Perubahan besar dalam hidup saya sebenarnya tidak terlalu signifikan. Sekarang saya sangat  mengutamakan kenyamanan dalam bekerja, jadi uang bukan lagi orientasi utama. Ketika menerima suatu pekerjaan, saya harus merasa nyaman dulu dengan pekerjaan tersebut, baru saya ambil, meski tidak memberikan pendapatan yang besar. Makin ke sini, bekerja itu semakin pakai hati.

Apa yang membuat Anda bahagia?
Saat saya bisa bangun siang, tidak dikejar deadline, punya waktu libur panjang di mana saya tidak harus mengerjakan apa-apa dan tidak ada handphone atau laptop di sekitar saya.

Spot liburan favorit?
Bali. Di sana ada tempat healing bagus di mana saya bisa melakukan yoga dan meditasi. Selain itu, saya juga senang berenang di laut, menyepi ke pegunungan, atau hanya sekedar duduk di pantai di sore hari. Kegiatan-kegiatan seperti itu bisa membantu saya sebagai stress management.

Apa pencapaian terbesar Anda hingga saat ini?
Sebenarnya saya tidak berpikir bahwa saya telah memiliki pencapaian terbesar dalam hidup. Jika saya meraih sesuatu yang besar, saya selalu kembali ke titik nol agar tidak menjadi sombong. Artinya segala pencapaian yang orang hargai dan hormati itu jangan terlalu dibesar-besarkan. Prinsip saya, dipuji tidak boleh sombong, dikritik tidak boleh marah. Jadi saat orang menghargai karya saya, saya bahagia, namun saya tidak mau terlena. Harus kembali lagi ke titik nol, membuat lagi karya yang baru.  Achievement bagi saya adalah saat seseorang bisa mencapai puncak namun bisa kembali ke bawah lagi, tetap down to earth. 

Apa yang Anda takutkan dalam hidup?
(Diam sejenak) Saya takut kalau Mama saya marah. 

Impian Anda ke depan?
Seperti yang saya bilang saya tidak memiliki impian yang muluk-muluk dan tidak memiliki ambisi besar. Tapi saya memiliki sebuah kotak mimpi (sambil memperlihatkan sebuah kotak kecil dari kayu). Saya menulis impian-impian saya di sehelai kertas kemudian saya masukkan ke dalam kotak ini yang selalu saya letakkan di bawah bantal. Tapi jujur saja, saya sudah tak ingat lagi apa saja impian yang saya tulis di kertas itu (sambil tertawa ia membuka kertas impiannya dan memperlihatkan pada marie claire beberapa mimpi-mimpinya itu: bahagia lahir batin dan sehat walafiat, keliling dunia dengan karya, ingin punya rumah sendiri)